Thursday, April 27, 2006 | 5:20 PM

Ketika musim cengkeh tiba



Saat itu harga cengkeh sedang bagus-bagusnya,...kata tetangga bisa sekitar RP 40-60 ribu/kg, sesuatu yg lama petani cengkeh impikan sejak diberlakukannya UU "monopoli" cengkeh.

Siang itu, sekitar jam 2 datang serombongan pasien menggunakan mobil bak terbuka yg telah dimodifikasi, didalamnya ada pasien yg katanya jatuh dari pohon cengkeh saat memanen bunganya. Ternyata pasiennya bapak dari salah satu kader di Cirapih, salah satu desa di kecamatan Cibalong.

Aku dekati mobil tsb, dgn polosnya bapak itu bilang "jatuh tapi nggak terasa sakit apa-apa", aku curiga telah terjadi patah tulang belakangnya, ditempat itu pula aku test fs sensoriknya dgn kucubit, dsb hasilnya tak ada rasa, aku suruh menggerakkan kaki untuk mengetes fs motoriknya tak bisa pula, akhirnya dgn segera aku merujuknya ke RSU Tasikmalaya, mumpung belum lewat 6 jam (golden periode) dari kecelakaan itu.

Yah, nasib,...pengin panen besar malah celaka.


Image hosted by Photobucket.com

2 comments

Wednesday, April 12, 2006 | 2:37 PM

Nyaris terjun ke jurang


Kejadian kualami sekitar bulan Mei 1999, harinya Sabtu, berarti belum genap setahun aku kerja di Puskesmas.

Ceritanya hari itu aku harus rapat dinas di Tasikmalaya, dalam rangka menyambut mahasiswa dari Univ Atmajaya yg mau praktek lapangan di Puskesmas, kebetulan Pkm Cibalong jadi salah satu obyeknya.

Sebelumnya aku mau mboceng Pak Iing, petugas kesling yg kebetulan mau rapat juga di Tasik, tapi ragu-ragu sebab jarak yg cukup jauh (30 km) kalau ditempuh dgn sepeda motor plus jalan yg berkelak kelok membuatku membatalkan niat.

Akhirnya aku berangkat naik bis bareng Bu Bidan Neni yg mau rapat juga di Tasik.
Oh ya, sebenarnya aku punya mobil pribadi, mobil dinas kebetulan nggak punya, cuma karena aku nggak bisa nyupir, dan staf Pkm pun nggak ada yg bisa nyupir, maka mobilku sering nganggur di garasi. Kebetulan hari minggunya aku ada rencana datang ke undangan pernikahan anak dokter senior di Tasik, maka hari Minggu saja aku niatkan ke Tasik pake mobil dgn disopiri Bides Delis,...kasihan kan kalau dia tiap hari mesti nganter aku ke Tasik.

Setelah itu naik bis yg kebetulan agak penuh jadi kami nggak dapat tempat duduk. Tak berapa lama ada beberapa penumpang yg turun sehingga aku akhirnya dapat tempat duduk dibaris agak depan.
Sesampai di daerah Kawalu, tiba-tiba kudengar suara ban meletus dgn keras, akhirnya braakkkkkkkkkk, tak ingat apa-apa lagi, sesaat kemudian baru aku temukan serpihan kaca mata dipangkuanku dan kerudungku ternoda darah. Cepat-cepat aku turun dari bis dan mendapati bu Bidan sudah turun juga, tanpa menunggu lama kami menyetop angkot minta diantar ke Puskesmas terdekat (padahal angkotnya nggak lewat situ).

Alhamdulillah kami segera ditolong oleh petugas Pkm kawalu & dr Dadang, tapi beliau langsung merujuk ke RS berhubung lukaku di bibir yg harus dijahit dgn benang khusus, juga perlunya rontgen, dsb.

Wah jangan ditanya deh pelayanan di RSU, yg namanya UGD juga nggak bisa cekatan padahal banyak darah yg keluar, juga sakit di seluruh badan. Alhamdulillah karyawan Pkm Cibalong banyak membantuku untuk menenangkan diri, Pak Dedi, dari Dinkes menanyakan no telp suami di Bogor, dsb.
Setelah menunggu sekitar 1 jam baru giliranku diperiksa, lalu dokter memutuskan bibirku dijahit,...uh bayangin biasa njahit sekarang aku sendiri harus merasakannya,...pertama disuntik bius lokal,...hik hik sakitnya, tapi setelahnya aku nggak merasakan apa-apa waktu dijahit, selesai aku mendapat 3 jahitan dalam dan 5 jahitan luar, setelah itu dilakukan foto Rontgen untuk kepala, lutut. Alhamdulillah semuanya baik.

Nggak mau lah aku cerita ttg pelayanan RSU Tasikmalaya selama aku dirawat disana,...kehel pisan.
Ttg kecelakaan itu sendiri ternyata ban bis meletus, rem blong membuat pengemudi bis nggak bisa menguasai bisnya di turunan dan akhirnya menabrak pinggir jembatan, kalau liat posisi bis itu sih spt bagian dpn bis menggunting sisi jembatan,....untung nggak nyemplung ke jurang.Alhamdulillah.

Anyway banyak sekali hikmah dari kejadian itu, meski sempat membuatku trauma naik angkutan umum.


Image hosted by Photobucket.com

0 comments

Tuesday, April 11, 2006 | 6:18 PM

Dipatok oray


Kendala bhs sunda ini yg bener-bener jadi pengalaman yg tak bisa aku lupakan.kejadiannya sekitar 1 minggu setelah aku mulai praktek di rumah.

Pagi hari, sekitar jam 9 datang seorang Ibu yg tergopoh-gopoh datang ke tempat praktek.
Pasien : "Dokter, abdi teh dipatok oray"
Aku diam saja liat ekspresi muka yg ketakutan sambil memegang tangannya,...duh denger kalimatnya juga udah nggak ngerti apalagi maksudnya.
Akhirnya dgn kalem ke Puskesmas yg jaraknya cuma sekitar 5 meter didepan rumah, sambil malu-malu kucing aku tanya ke salah satu perawat, "Bu, oray itu apa artinya ?",...ular Dok, dipatok oray meureun,....enggal Dok, itu teh dipatok ular,...Haa???!!!!!

Dengan secepat kilat aku balik ke tempat praktekku dan memeriksa pasien itu, terutama 5 tanda vital (kalor, rubor, dolor, dsb), sementara gak papa cuma bengkak dikit, berhubung gak punya ABU (anti bisa ular) baik ditempat praktek maupun di Pkm, akhirnya pasien itu aku rujuk ke Pkm lain yg paling dekat dgn Cibalong, setelah sebelumnya aku ngecek perihal ABU di Pkm tsb.Alhamdulillah, sebuah pengalaman berharga buatku, makanya yg giat donk belajar bhs Sundanya !


Image hosted by Photobucket.com

0 comments

Friday, April 07, 2006 | 5:39 PM

Buka "waroeng"



Berhubung ijazahku dokter, maka buka warungnya ya buka praktek pribadi di rumah.

Nggak langsung praktek sih, sekitar seminggu setelah resmi ngantor baru aku berani buka praktek, banyak alasan, diantaranya kurang pede, baik dari segi ketrampilan maupun fasilitas yg aku punya.

Selama hampir 2 th lulus, aku cuma magang di klinik sekolah, pasiennya cuma murid, guru, pegawai,...nggak banyak kasus, nggak pernah nyuntik. Sementara praktek di desa, konon kalau nggak nyuntik nggak bakalan laku.Menurut info dari "sesepuh" Puskesmas, dokter sebelum aku nggak laku karena nggak mau nyuntik.

Kalaupun aku memutuskan untuk mau nyuntik, bukannya karena nggak ingin praktekku nggak laku,...ya liat sikon lah, mana yg perlu disuntik mana yg nggak perlu.

Selain itu, yg aku bilang fasilitas tadi , masalah tempat periksa, korden penyekat ruangan, obat-obatan yg masih minim, maklum uang habis buat macam-macam keperluan, apalagi dgn 2 dapur (untuk suami di Bogor dan aku di Cibalong).Bismillah, aku niati untuk ibadah, menolong orang, dan memanfaatka ilmu yg aku peroleh selama kuliah, akhirnya aku resmi buka praktek.

Tentu saja hari-hari pertama belum ada yg datang, mungkin pengaruh dokter lama yg jarang praktek dan statusku sbg dokter baru yg mungkin banyak org yg belum tahu.Saat-saat spt benar-benar ujian bagiku,...sementara aku ketemu dgn teman di Pkm lain yg katanya mulai banyak pasien,....tapi aku gunakan kesempatan itu untuk silaturahmi ke tetangga, mendatangi pengajian di malam hari, sekalian memperkenalkan diri.

Alhamdulillah, seorang demi seorang pasien mulai berkunjung ke tempat praktekku. Saat itulah aku baru merasakan, oh jadi dokter aku rupanya.


Image hosted by Photobucket.com

0 comments

| 4:58 PM

Pak Pepe


Namanya Pak Pepe Syapei (orang sunda tea), petugas immunisasi, umurnya saat itu masih 50-an, atau kurang malah, namum penampilannya kayak dah tua banget. rambutnya keriting (persis illustrasi nya), full minyak rambut cap nyong-nyong.

Menurut info staf lain, orangnya agak nggak normal, rada "gelo", kadang ngantor, kadang meliburkan diri. Banyak pula catatan hitamnya dimasa lalu, ada yg bilang pernah memperkosa anak bisu, tukang kawin cerai, dsb.

Sosoknya sbg juim banyak ditakuti ibu-ibu balita, nggak cuma balitanya. Banyak kader posyandu yg menolak kedatangan pak Pepe, katanya Pak Pepe pernah nyuri dompetnya salah satu kader posyandu, jarum suntik dipakai berkali-kali, dsb.

Informasi ttg ke"gelo"an Pak Pepe sudah disampaikan ke Dinas berkali-kali, entah kenapa masih saja dipekerjakan.
Mendengar berbagai laporan ttg dia, akupun berusaha menindaklanjuti kasusnya, berulangkali aku laporkan ke Dinas perihal Pak pepe, tapi tetep aja nggak ada tindak lanjut.

Meski agak "gelo" sama duit apal banget, lumayan licik juga, misalnya kalau naik bus ke tasik dia bakal berpura-pura "gelo" biar nggak ditarik ongkos, lama-lama kondektur ya apal kalau itu cuma akal bulusnya.
Asli, Pak Pepe itu sehabis gajian kelihatan seger banget, full energi, tapi pertengahan bulan sudah keliatan aslinya, lecek, sok linglung,.....asal-usul ke"gelo"annya konon pernah sakit panas tinggi, kejang, jadilah spt itu.
Selama aku jadi kepala Puskesmas, pak pepe dibebastugaskan dari kegiatan apapun, baik itu immunisasi posyandu atau dalam kegiatan PIN. Suka komplain juga sih, staf lain kalau mau immunisasi juga sembunyi-sembunyi. Sebenarnya kesel juga sama Pak Pepe, cuma kalo diladeni sama aja "gelo"nya.

Kadang kalo sore, pas Pak Pepe piket, suka digodain anak-anak , pintu Puskesmas digedor-gedor trus pada ngabur kalo Pak Pepe mbuka, kadang dari rumah dinas ketawa aja,...lumayan buat hiburan.
Walau begitu, sering banget aku kasih dia makan kalau pas dia piket, aku kasih nasi banyaaaak banget plus lauk pauk, nggak ada 10 menit dia udah ngetuk pintu balikin piring kosong, licin cin.
Kalau bulan puasa, aku sediakan juga untuk buka dan sahurnya, cuma kalau dikasih untuk buka jam 5 sore, ya dia makan saat itu juga,...kaco bener itu org, sahur juga kalau dikasih jam 9 malam ya dihabisin saat itu juga, maksudku sih supaya dinihari nggak perlu keluar nganter makanan.

Setiap menjelang lebaran, aku bagi-bagi sedikit uang simpanan yg dikelola bendahara, Pak Pepe kebagian juga, sampai saat th terakhir tugasku, dia dapat lumayan banyak, melalui rundingan dgn staf yg lain, uangnya nggak dikasihkan semua ke Pak Pepe, tapi sebagian digunakan untuk mengurus pensiun dininya.

Yah, begitulah Dinkes, meski jelas-jelas dia nggak bermanfaat lagi di puskesmas, untuk ngurus pensiun aja butuh biaya,.....lha kalau nggak ada biaya, sampai kapan org seperti Pak Pepe masih aja bercokol di puskesmas?


Image hosted by Photobucket.com

0 comments

| 3:29 PM

Mulai "ngantor"


Lupa kapan pastinya, yg jelas setelah mengikuti Prajabatan di kanwil Depkes Jabar dan Dinkes Tasikmalaya, aku mulai ngantor di Puskesmas Cibalong, aku jadi kepala Puskesmas,....sulitkah,...gampangkah?.

Pindahan dari Bogor, kami nyewa Kijang, karena kebetulan Bapak-Ibu nggak bisa nganter. Nggak bisa dibayangin deh, pisah dari suami yg tugas disini , dgn anak yg belum genap 1 th, alhamdulillah sekali Teteh mau ikut ke Cibalong juga walau salah satu anaknya ikut,...nggak apa-apa, buat temen Ilham sekalian.

Setelah semalam Ayah balik ke Bogor, paginya aku mulai ngantor, resmi kenalan dgn seluruh staf di Puskesmas, trus juga ikut apel pagi di halaman kantor Kecamatan Cibalong.
Coba kuingat lagi ya, siapa staf di Pkm Cibalong,...ada Pak Ade, yg konon org kedua stl kepala Pkm, Pak Mantri Didi, Bu Cicih, Bu Nahnah, Bu Yani, Bu Bidan Neni, Pak Ukat & Pak Pepe sbg juru immunisasi, Pak Aad bendahara, Pak Iing, Bu Ida petugas gizi, Pak Piyan mantri gigi,.....
Biasa deh pandangan pertama,...gak berani komen,...cuma agak-agak gimanaaaa gitu, merasa rendah diri aku, yg jelas gimana nanti aja deh.

Kenalan dgn Pak Camat, konon baru juga, namanya Pak Adang,...hmmm tampangnya mirip tokoh antagonis di salah satu telenovela yg diputer saat itu,...

Pak Danramil, masih baru juga, istrinya belum ikut masih di Bandung,....dsb
Btw, awal dari tugas yg harus aku jalani, bismillah saja semoga Allah SWT senantiasa memberi bimbingan & pertolongan buatku di perantauan.


Image hosted by Photobucket.com

2 comments